• Posted by : Unknown Selasa, 09 Juli 2013



    Shalatku ternyata jauh dari “beres”. Sungguh naif.
    Satu sisi aku pingin dan merasa “pantes” masuk surga. Bukankah aku udah shalat. Setiap malem jumat ngaji yasin, dan aku berusaha, berupaya agar menjadi pribadi yang baik. Lagipula, bukan aku yg kena musibah tsunami dulu, yang kena musibah gempa kemarin. Juga aku bukan korban lapindo, atau juga pas bukan penumpang Levina, Adam air maupun Garuda. Aku bahkan tidak terkena efek apapun dari Banjir Jakarta kemarin. Aku disayang Tuhan. Aku pantas masuk surga.
    Betulkah aku pantas masuk surga?
    Aku kemarin membaca, entah buku apa itu (aku lupa). Didalamnya jelas-jelas dikatakan :
    1. Shalat itu yg paling pertama dicek. Jika shalatnya benar, maka baru yg lain dicek (setelahnya diputuskan masuk surga atau neraka)
    2. Ada orang (entah sufi atau bukan, tapi bukan itu masalahnya). Ia setiap wudhu selalu gemetar. Ketika ditanya, maka jawabnya : “tahukah kamu, kepada siapa aku akan menghadap?”
    3. Sampai dititik ketika seseorang merasakan suara azan itu bagaikan sangkakala sang malaikat sebagai salah satu tanda datangnya kiamat
    4. Ada 3 golongan : Golongan pertama berseri seperti matahari, yaitu orang yang ketika azan berbunyi dia sudah didalam masjid. Golongan kedua berseri bagai rembulan nan purnama, yaitu orang yang langsung wudhu ketika azan dikumandangkan. Golongan ketiga berseri (aku lupa seperti apa dan itu tidak penting), yaitu orang yang bergegas menuju azan yang dikumandangkan
    Maka, jawabannya adalah : aku belum pantas masuk surga. Padahal aku sangat berharap masuk surga (karena pilihan satunya adalah neraka dan tidak ada pilihan lain yang berupa “nilai tengah”).
    Lihat point nomer satu : Shalatku belum benar. Aku baru sadar ada perbedaan mendasar mengapa ketika ruku membaca “rabbiyal adziim” dan ketika sujud membaca “rabbiyal ‘a’laa”.Ternyata “adzim” itu tidak cukup berarti besar, agung. Lebih bagus jika diartikan “spektakuler” (menurutku spektakuler itu lebih dari sekedar luar biasa). Itu pernyataan bahwa aku ketika ruku’ mengaku bahwa Tuhan memang adzim. Dan ketika itu mestinya aku bayangkan aku ngga’ bakal ruku’ kepada manusia, siapapun dia…
    Lalu “a’laa” berarti tinggi. Entah kata apa yang bisa mewakilinya. Tuhan nan tinggi tak terjangkau bahkan dengan akal yang paling “tinggi” sekalipun. Maka a’laa lebih benar dilakukan dengan / sambil sujud. Pengakuan kepala yang direndahkan serendah-rendahnya kepada yang tertinggi setinggi-tingginya. Shalatku belum benar. Aku belum tepat waktu. Jika detik ini aku ditelepon boss supaya menghadap sekarang karena ada urusan penting yang ingin dibicarakan, aku pastilah serta merta datang. Aku toh ngga’ mau dipecat begitu saja, atau paling tidak aku ngga' mau mengecewakan boss ku.
    Tapi untuk shalat maghrib, aku dipanggil oleh Tuhan, bayangkan.. oleh TUHAN, dan aku baru bergerak setelah kerjaan selesai atau pas jam setengah 7 sore. Sungguh tidak benar. Shalatnya juga sendirian, tidak dimesjid dan apalagi “tuma’ninah”.
    Masalahnya adalah : Gimana agar aku bisa di titik mampu merasakan suara azan bagaikan tiupan sangkakala sang malaikat sehingga aku begitu tergopoh-gopoh untuk melaksanakan-nya.
    Ya Allah, bimbinglah kami menuju jalan yang namanya shirath mustaqim. Apa itu jalan shirath? Yaitu :
    1. Jalan yang penuh nikmat didalamnya
    2. Bukan yang dimurkai Allah
    3. Bukan yang sesat
    Ketiga kriteria itu yang dipenuhi. Amiinn..   

    Salam

    Uwie

    Leave a Reply

    Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

  • Copyright © 2013 - Designed by Johanes Djogan

    Sharing is Caring - Powered by Blogger - Redesigned by Cuwie