- Home>
- Rasulullah SAW >
- Cara Rasulullah Mendidik Anak
Posted by : Unknown
Rabu, 17 Juli 2013
(gambar hanya Ilustrasi)
Menasihati dan Mengajari Saat Berjalan Bersama
Berikut ini adalah kisah yang dituturkan Abdullah bin Abbas ketika
diajak jalan bersama Rasulullah di atas kendaraan beliau. Dalam
perjalanan ini, beliau mengajarkan kepadanya beberapa pelajaran sesuai
jenjang usia dan kemampuan daya pikirannya melalui dialog ringkas,
langsung dan mudah. Rasulullah bersabda, “Nak, aku akan memberimu
beberapa pelajaran: peliharalah Allah, niscaya Dia akan balas
memeliharamu. Peliharalah Allah, niscaya kamu akan menjumpai-Nya
dihadapanmu. Jika kamu meminta, mintalah kepada Allah, dan jika kamu
meminta pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah, sesungguhnya
andaikata manusia persatu padu untuk memberimu suatu manfaat kepadamu,
niscaya mereka tidak akan dapat memberikannya kepadamu, kecuali mereka
telah ditakdirkan oleh Allah untukmu. Dan seandainya mereka bersatu padu
untuk menimpakan suatu bahaya kepadamu, niscaya mereka tidak akan dapat
membahayakanmu, kecuali sesuatu yang telah ditakdirkan Allah bagimu,
pena telah diangkat dan lembaran catatan telah mengering.”[1]
Menarik Perhatian Anak dengan Ucapan yang Lembut
Adakalanya Rasulullah memanggil anak dengan panggilan yang paling
sesuai dengan jenjang usianya, seperti ungkapan, “Anak muda,
sesungguhnya aku akan memberimu beberapa pelajaran.” Dan seterusnya.
Adakalanya beliau memanggil dengan sebutan, “Anakku” seperti beliau
lakukan kepada Anas saat turun ayat hijab, “Hai anakku, mundurlah kamu
ke belakang.”
Rasulullah menyebut anak-anak Ja’far, putra pamannya, “Panggilkanlah
anak-anak saudaraku.” Beliau pun menanyakan kepada ibunya, “Mengapa aku
lihat tubuh keponakanku kurus-kurus seperti anak-anak yang sakit?”[2]
Seseorang lebih terkesan bila dipanggil dengan julukan, gelar, dan
predikat yang baik dari pada nama aslinya. Tak terkecuali anak-anak.
Ironisnya, yang sering kali kita dapati anak-anak yang dipanggil dengan
julukan tidak enak didengar, seperti: gundul, gembrot, kribo, dan
sebagainya.
Menghargai Mainan Anak dan Jangan Melarangnya Bermain
Apa yang akan Anda katakan ketika mengetahui bahwa Hasan bin Ali
mempunyai anak anjing untuk mainannya, Abu Umair bin Abu Thalhah
mempunyai burung pipit untuk mainannya, dan Aisyah mempunyai boneka
perempuan untuk mainannya. Setelah dinikahi Rasulullah, Aisyah membawa
serta boneka mainannya ke rumah beliau, bahkan Rasulullah mengajak semua
teman-teman Aisyah ke dalam rumah untuk bermain bersama Aisyah.
Realitas seperti ini menunjukkan pengakuan dari Rasulullah terhadap
kebutuhan anak kecil terhadap mainan, hiburan dan pemenuhan
kecenderungan (bakat).
Al Ghazali mengatakan, “Usai keluar dari sekolah, sang anak hendaknya
diizinkan untuk bermain dengan mainan yang disuainya untuk merehatkan
diri dari kelelahan belajar di sekolah. Sebab, melarang anak bermain dan
hanya disuruh belajar terus, akan menjenuhkan pikirannya, memadamkan
kecerdasannya, dan membuat masa kecilnya kurang bahagia. Anak yang tidak
boleh bermain pada akhirnya akan berontak dari tekanan itu dengan
berbagai macam cara.”[3]
Al Ghazali juga menambahkan, “Hendaknya sang anak dibiasakan berjalan
kaki, bergerak, dan berolah raga pada sebagian waktu siang agar tidak
menjadi anak yang pemalas.”
Tidak Membubarkan Anak yang Sedang Bermain
Anas berkata, “Pada suatu hari aku melayani Rasulullah. Setelah
tugasku selesai, aku berkata dalam hati, ‘Rasulullah pasti sedang
istirahat siang.’ Akhirnya, aku keluar ke tempat anak-anak bermain. Aku
menyaksikan mereka sedang bermain. Tidak lama kemudian, Rasulullah
datang seraya mengucapkan salam kepada anak-anak yang sedang bermain.
Beliau lalu memanggil dan menyuruhku untuk suatu keperluan. Aku pun
segera pergi untuk menunaikannya, sedangkan beliau duduk di bawah sebuah
pohon hingga aku kembali….”[4]
Selain penting bagi pertumbuhan mental dan fisik anak, permainan
mereka perlukan sebagaimana orang dewasa memerlukan pekerjaan.
Pikirkanlah dahulu untuk membubarkan mereka saat bermain. Kalau untuk
memperingatkan karena waktu yang tidak tepat atau membahayakan diri dan
orang lain, lakukan dengan penuh bijaksana.
Tidak Memisahkan Anak dari Keluarganya
Abu Abdurrahman Al Hubuli meriwayatkan bahwa dalam suatu peperangan
Abu Ayyub berada dalam suatu pasukan, kemudian anak-anak dipisahkan dari
ibu-ibu mereka, sehingga anak-anak itu menangis. Abu Ayyub pun segera
bertindak dan mengembalikan anak-anak itu kepada ibunya masing-masing.
Ia lalu mengatakan bahwa Rasulullah pernah bersabda, “Barang siapa
memisahkan antara seorang ibu dan anaknya, niscaya Allah akan memisahkan
antara dia dan orang-orang yang dicintainya pada hari kiamat.”[5]
Rasulullah juga melarang seseorang duduk di tengah-tengah antara
seorang ayah dan anaknya dalam suatu majelis. Beliau bersabda,
“Janganlah seseorang duduk di antara seorang ayah dan anaknya dalam
sebuah majelis.”[6]
Jangan Mencela Anak
Anas mengatakan, “Aku melayani Rasulullah selama 10 tahun. Demi
Allah, beliau tidak pernah mengatakan, ‘Ah,’ tidak pernah menanyakan,
‘Mengapa engkau lakukan itu?’ dan tidak pula mengatakan, ‘Mengapa engkau
tidak melakukan itu?’.”[7]
Anas juga mengatakan, “Beliau tidak pernah sekali pun memerintahkan
sesuatu kepadaku, kemudian akan manangguhkan pelaksanaannya, lalu beliau
mencelaku. Jika ada salah seorang dari ahli baitnya mencelaku, beliau
justru membelaku, ‘Biarkanlah dia, seandainya hal itu ditakdirkan
terjadi, pastilah terjadi.”
Al Ghazali memberi nasihat, “Janganlah banyak mengarahkan anak dengan
celaan karena yang bersangkutan akan menjadi terbiasa dengan celaan.
Dengan celaan anak akan bertambah berani melakukan keburukan dan nasihat
pun tidak dapat mempengaruhi hatinya lagi. Hendaklah seorang pendidik
selalu menjaga wibawa dalam berbicara dengan anak. Untuk itu, janganlah
ia sering mencela, kecuali sesekali saja bila diperlukan. Hendaknya sang
ibu mempertakuti anaknya dengan ayahnya serta membantu sang ayah
mencegah anak dari melakukan keburukan.”[8]
Mengajarkan Akhlak Mulia
Anas menuturkan bahwa Rasulullah bersabda, “Wahai anakku, jika engkau
mampu membersihkan hatimua dari kecurangan terhadap seseorang, baik
pagi hari maupun petang hari, maka lakukanlah. Yang demikian itu
termasuk tuntunanku. Barang siapa yang menghidupkan tuntunanku, berarti
ia mencintaiku, dan barang siapa mencintaiku niscaya akan bersamaku di
dalam surga.”[9]
Al Ghazali mengatakan, “Anak harus dibiasakan agar tidak meludah atau
mengeluarkan ingus di majelisnya, menguap di hadapan orang lain,
membelakangi orang lain, bertumpang kaki, bertopang dagu, dan
menyandarkan kepala ke lengan, karena beberapa sikap ini menunjukkan
pelakunya sebagai orang pemalas. Anak harus diajari cara duduk yang baik
dan tidak boleh banyak bicara. Perlu dijelaskan pula bahwa banyak
bicara termasuk perbuatan tercela dan tidak pantas dilakukan. Laranglah
anak membuat isyarat dengan kepala, baik membenarkan maupun mendustakan,
agar tidak terbiasa melakukannya sejak kecil.”[10]
Mendoakan Kebaikan, Menghindari Doa Keburukan
Jabir bin Abdullah berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Janganlah
kalian mendoakan keburukan untuk diri kalian, janganlah kalian mendoakan
keburukan untuk anak-anak kalian, janganlah kalian mendoakan keburukan
untuk pelayan kalian, dan jangan pula kalian mendoakan keburukan untuk
harta benda kalian, agar jangan sampai kalian menjumpai suatu saat yang
di dalamnya Allah memberi semua permintaanmu, kemudian mengabulkan doa
kalian.”[11]
Orang tua harus dapat mengontrol penuh lisannya, agar tidak keluar
ancaman atau ucapan yang bisa menjadi doa keburukan bagi sang anak. Doa
itu tak harus sesuatu yang khusus diucapkan saat bersimpuh di hadapan
Allah. Ucapan seketika, seperti, “Dasar anak bandel,” pun bisa bermakna
doa. Dan doa orang tua kepada anak itu bakal manjur.[12]
Meminta Izin Berkenaan dengan Hak Anak
Sahl bin Sa’ad meriwayatkan bahwa disajikan kepada Rasulullah segelas
minuman, lalu beliau meminumnya, sedang disebelah kanan beliau terdapat
seorang anak dan disebelah kirinya terdapat orang tua. Sesudah minum,
beliau bertanya kepada si anak, “Apakah engkau setuju bila aku memberi
minum mereka terlebih dahulu?” Ia menjawab, “Tidak, demi Allah, aku
tidak akan memberikan bagianku darimu.” Rasulullah pun menyerahkan wadah
itu ke tangannya.[13]
Mengajari Anak Menyimpan Rahasia
Abdulllah bin Ja’far bercerita, “Pada suatu hari Rasulullah
memboncengku di belakangnya. Beliau kemudian membisikkan suatu
pembicaraan kepadaku agar tidak terdengar oleh seorang pun.”[14]
Makan Bersama Anak Sembari Memberikan Pengarahan dan Meluruskan Kekeliruan Mereka
Umar bin Abu Salamah bercerita, “Ketika masih kecil, aku berada di
pangkuan Rasulullah dan tanganku menjalar ke mana-mana di atas nampan.
Rasulullah bersabda kepadaku, ‘Hai bocah, sebutlah nama Allah (berdoa),
makanlah dengan tangan kanan, dan makanlah makanan yang ada di dekatmu.’
Maka senantiasa seperti itulah cara makanku sesudahnya.”[15]
Abdullah bin Umar tidak pernah melakukan shalat malam, maka
Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik lelaki adalah Abdullah bin Umar
seandainya dia shalat malam.” Sesudah itu, dia hanya tidur sebentar saja
setiap malamnya.[16]
Berlaku Adil Kepada Anak, Tanpa Membedakan Laki-laki atau Perempuan
Nu’man bin Basyir pernah datang kepada Rasulullah lalu berkata,
“Sungguh, aku telah memberikan sesuatu kepada anak laki-lakiku yang dari
Amarah binti Rawwahah, lalu Amarah menyuruhku untuk menghadap kepadamu
agar engkau menyaksikannya, ya Rasulullah.” Rasulullah bertanya, “Apakah
engkau juga memberikan hal yang sama kepada anak-anakmu yang lain?” Ia
menjawab, “Tidak.” Rasulullah bersabda, “Bertakwalah kamu kepada Allah
dan berlaku adillah kamu diantara anak-anakmu.” Nu’man pun mencabut
kembali pemberiannya.[17]
Melerai Anak yang Terlibat Perkelahian
Rasulullah pernah memisahkan dua bocah yang terlibat dalam
perkelahian. Beliau meluruskan pemikiran mereka dan menyerukan kepada
orang-orang dewasa untuk menangkal kezaliman.[18]
Gali Potensi Mereka
Ibnu Umar meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Di antara
pepohonan yang tumbuh di daerah pedalaman terdapat sebuah pohon yang
dedaunannya tidak pernah gugur, dan itulah perumpamaan seorang muslim.
Ceritakanlah kepadaku pohon apakah itu?” Orang-orang menebaknya dengan
beragam pepohonan yang tumbuh di daerah pedalaman tersebut. Ibnu Umar
berkata, ‘Dalam hatiku terbetik bahwa pohon yang dimaksud adalah pohon
kurma, tetapi aku merasa malu untuk mengutarakannya (karena saat itu
usiaku masih sangat muda). Selanjutnya, mereka pun menyerah dan berkata,
‘Ceritakanlah kepada kami wahai Rasulullah, pohon apakah itu?’
Rasulullah menjawab, ‘Itulah pohon kurma’.”[19]
Rangsang dengan Hadiah
Rasulullah pernah membariskan Abdulullah, Ubaidillah dan sejumlah
anak-anak pamannya, Al Abbas, dalam suatu barisan, kemudian beliau
bersabda, “Siapa yang paling dahulu sampai kepadaku, dia akan
mendapatkan (hadiah) ini.” Mereka pun berlomba lari menuju tempat
Rasulullah berada. Setelah mereka sampai di tempat beliau, ada yang
memeluk punggung dan ada pula yang memeluk dada beliau. Rasulullah
menciumi mereka semua serta menepati janji kepada mereka.[20]
Menghibur Anak Yatim dan Menangis Karena Mereka
Rasulullah bersabda, “Aku dan pengasuh anak yatim itu di surga
seperti ini.” Beliau menunjukkan jari telunjuk dan jari tengah dengan
meregangkan sedikit saja.[21]
Rasulullah pernah menciumi dan bercucuran air mata ketika melihat
anak-anak Ja’far menjadi yatim karena ayahnya gugur dalam medan perang,
beliau juga menghibur mereka.[22]
Tidak Merampas Hak Anak Yatim
Rasulullah bersabda, “Ya Allah, sesungguhnya aku mengharamkan hak dua orang lemah, yaitu anak yatim dan wanita.”[23]
Dengan demikian, seleksilah benar-benar harta kita. Adakah di dalamnya
hak anak yatim yang kita rampas? Sebab, ancaman memakan harta mereka
begitu jelas dan gamblang.
Melarang Bermain Saat Setan Berkeliaran dan Lindungilah dari penyakit ‘Ain
Rasulullah bersabda, “Apabila malam mulai gelap (malam telah tiba),
tahanlah anak-anak kalian, karena setan saat itu sedang bertebaran.
Apabila telah berlalu sesaat dari waktu maghrib, lepaskanlah mereka….”[24]
Aisyah menceritakan bahwa Rasulullah melihat anak yang sedang
menangis kemudian beliau bersabda, “Mengapa bayi kelian menangis?
Mengapa tidak kalian ruqyah dari penyakit ‘ain?”[25]
Mengajari Azan dan Shalat
Abu Mahdzurah bercerita, “Aku bersama 10 orang remaja berangkat
bersama Rasulullah dan rombongan. Pada saat itu, Rasulullah adalah orang
paling kami benci. Mereka kemudian menyerukan azan dan kami yang 10
orang remaja ikut pula menyerukan azan dengan maksud mengolok-ngolok
mereka. Rasulullah bersabda, ‘Bawa kemari 10 orang remaja itu!’ Beliau
memerintahkan, ‘Azanlah kalian!’ Kami pun menyerukan azan.
Rasulullah bersabda, ‘Alangkah baiknya suara anak remaja yang baru
kudengar suaranya ini. Sekarang pergilah kamu dan jadilah juru azan buat
penduduk Mekkah.’ Beliau bersabda demikian seraya mengusap ubun-ubun
Abu Mahdzurah, kemudian beliau mengajarinya azan dan bersabda kepadanya,
‘Tentu engkau sudah hafal bukan?’ Abu Mahdzurah tidak mencukur
rambutnya karena Rasulullah waktu itu mengusapnya.[26]
Mengenai shalat, Rasulullah bersabda, “Ajarilah anak-anak kalian
shalat sejak usia 7 tahun dan pukullah ia karena meninggalkannya bila
telah berusia 10 tahun.”[27]
Anas bin Malik berkata, “Pada suatu hari aku pernah masuk ke tempat
Rasulullah dan yang ada hanyalah beliau, aku, ibuku, dan Ummu Haram,
bibiku. Tiba-tiba Rasulullah menemui kami lalu bersabda, ‘Maukah bila
aku mengimami shalat untuk kalian?’ Kala itu bukan waktu shalat. Maka
salah seorang berkata, ‘Bagaimana Anas di posisikan di dekat beliau?’
Beliau menempatkanku di kanan beliau lalu beliau shalat bersama kami…”[28]
Tanpa cangung, Rasulullah mengajak anak shalat berjamaah meski tak
ada orang selain anak tersebut, tanpa ragu pula, beliau mengangkat
pemuda yang membencinya untuk menjadi tukang azan atau muazin kota
Mekkah.
Mengajari Anak Sopan Santun dan Keberanian
Sebagaimana yang telah dijelaskan, bahwa Rasulullah pernah meminta
izin kepada anak ketika beliau hendak memberi minum kepada tamu yang
dewasa terlebih dahulu sebelum dia. Namun anak itu menolak. Saat itu
Rasulullah tidak bersikap kasar dan tidak menegurnya.
Di antara keberanian yang beretika ialah anak tidak dibiarkan berbuat
sesuatu dengan sembunyi-sembunyi. Al Ghazali mengatakan, “Anak
hendaknya dicegah dari mengerjakan apa pun dengan cara
sembunyi-sembunyi. Sebab, ketika anak menyembunyikannya berarti dia
menyakini perbuatan tersebut buruk dan tidak pantas dilakukan.[29]
Menjadikan Anak yang Lebih Muda sebagai Imam Shalat dan Pemimpin dalam Perjalanan
Abu Hurairah menuturkan bahwa Rasulullah bersabda, “Bila kalian
sedang berpergian, hendaknya yang menjadi imam adalah yang paling bagus
bacaannya di antara kalian, walaupun ia orang yang paling muda. Bila ia
telah menjadi imam berarti ia adalah pemimpin.”[30]
Dan dikuatkan dengan hadits shahih, Amru bin Salamah berkata,
Rasulullah bersabda, “Hendaknya yang menjadi imam kalian adalah yang
paling banyak bacaan Al Qur’annya.”[31]
Sumber: Syeih Jamal Abdurrahman dalam bukunya yang berjudul “Athfalul Muslimin Kaifa Robaahumun Nabiyyul Amin Saw” yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Agus Suwandi dengan Judul “Islamic Parenting, Pendidikan Anak Metode Nabi” Solo: Aqwam, 2010
salam
Fenaldy